Saterdag 14 September 2013

    A.  Konstruktivisme Piaget
Jean Piaget adalah psikolog pertama yang menggunakan filsafat konstruktivisme, sedangkan teori pengetahuannya dikenal dengan teori adaptasi kognitif. Sama halnya dengan setiap organisme harus beradaptasi secara fisik dengan lingkungan untuk dapat bertahan hidup, demikian juga struktur pemikiran manusia. Manusia berhadapan dengan tantangan, pengalaman, gejala baru, dan persoalan yang harus ditanggapinya secaca kognitif (mental). Untuk itu, manusia harus mengembangkan skema pikiran lebih umum atau rinci, atau perlu perubahan, menjawab dan menginterpretasikan pengalaman-pengalaman tersebut. Dengan cara itu, pengetahuan seseorang terbentuk dan selalu berkembang. Proses tersebut meliputi:
1.  Skema/skemata adalah struktur kognitif yang dengannya seseorang beradaptasi dan terus mengalami perkembangan mental dalam interaksinya dengan lingkungan. Skema juga berfungsi sebagai kategori-kategori utnuk mengidentifikasikan rangsangan yang datang, dan terus berkembang.
2.    Asimilasi adalah proses kognitif perubahan skema yang tetap mempertahankan konsep awalnya, hanya menambah atau merinci.
3.  Akomodasi adalah proses pembentukan skema baru atau karena konsep awal sudah tidak cocok lagi.
4.   Equilibrasi adalah keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi sehingga seseorang dapat menyatukan pengalaman luar dengan struktur dalamya (skemata). Proses perkembangan intelek seseorang berjalan dari disequilibrium menuju equilibrium melalui asimilasi dan akomodasi.
Bagi Piaget, mengerti adalah proses adaptasi intelektual. Dengan adanya pengalaman dan ide baru diinteraksikan dengan apa yang sudah diketahui oleh seseorang yang sedang belajar untuk membentuk struktur pengertian baru. Menurut Piaget,  dalam pikiran seseorang ada struktur pengetahuan awal (skemata). Setiap skema berperan sebagai filter dan fasilitator bagi ide dan pengalaman baru. Skemata mengatur, mengkoordinasikan dan mengintensifkan prinsip- prinsip dasar. Melalui kontak dengan pengalaman baru, skema dapat dikembangkan dan diubah, yaitu dengan proses asimilasi dan akomodasi. Bila pengalaman baru masih bersesuaian dengan skema yang dipunyai seseorang maka skema hanya dikembangkan melalui proses asimilasi. Bila pengalaman baru sangat berbeda dengan skema yang ada, sehingga skema lama tidak cocok lagi untuk menghadapi pengalaman baru,  maka skema lama diubah sampai ada keseimbangan lagi. Proses ini disebut sebagai proses akomodasi. Dengan cara seperti ini, pengetahuan seseorang selalu berkembang.
Dengan demikian pembelajaran konstruktivisme berdasarkan pemahaman Piaget, beranggapan bahwa: 1) gambaran mental seseorang dihasilkan pada saat berinteraksi dengan lingkungannya, 2) pengetahuan yang diterima oleh seseorang merupakan proses pembinaan diri dan pemaknaan, bukan internalisasi makna dari luar.
Dalam pembentukan pengetahuan, Piaget membedakan tiga macam pengetahuan, yaitu : fisis, matematis logis dan sosial.
1.      Pengetahuan fisis, didapat dari abstraksi seseorang terhadap obyek secara langsung.
2.     Pengetahuan matematis logis, didapat dari abstraksi seseorang terhadap relasi dan fungsi obyek  secara tidak langsung.
3.      Pengetahuan sosial didapat dari interaksi seseorang dengan masyarakat, lingkungan dan budaya yang ada.
Bagi Piaget, pengetahuan selalu memerlukan pengalaman, baik pengalaman fisis maupun pengalaman mental.
B.        Konstruktivisme Vygotsky
Matthews (1994, dalam Suparno,P., 1997) membedakan dua tradisi besar dari konstruktivisme, yaitu konstruktivisme psikologis dan sosiologis. Konstruktivisme psikologis bertitik tolak pada perkembangan psikologis anak dalam membangun pengetahuannya, sedangkan konstruktivisme sosial lebih leboh mendasarkan pada masyarakat yang membangun pengetahuan. dengan demikian maka konstruktivisme psikologis terdiri atas : konstruktivisme personal (Piaget) dan konstruktivisme sosial (Vigotsky) serta konstruktivisme sosiologis berdiri sendiri.
1.      Konstruktivisme Psikologis Personal
Konstruktivisme psikologis dimulai dari karya Piaget mengenai bagaimana seorang anak membangun pengetahuan kognitifnya. Piaget menekankan aktivitas individual dalam pembentukan pengetahuan. Piaget menyebut dirinya sendiri epistemolog genetik. Epistemologi genetik menjelaskan pengetahuan dengan melihat sejarah pembentukannya dan khususnya dasar psikologis dari pengertian dan operasi yang digunakan dalam mendapatkan pengetahuannya (Suparno,P., 1997).
Pembelajaran menurut konstruktivisme personal, memiliki beberapa anggapan (postulat), yaitu: a) Set mental (idea) yang dimiliki peserta didik mempengaruhi panca indera dan pada akhirnya akan berpengaruh terhadap proses pembentukan pengetahuan, b) Input yang diterima peserta didik tidak memiliki makna yang tetap, c) peserta didik menyimpan input yang diterima tersebut ke dalam memorinya, d) input yang tersimpan dalam memori tersebut dapat digunakan lagi untuk menguji input lain yang baru diterima, e) peserta didik memiliki tanggung jawab terhadap apa yang menjadi keputusannya.
2.      Konstruktivisme sosiokulturalisme
Vygotsky meneliti pembentukan dan perkembangan pengetahuan anak secara psikologis. Vygotsky lebih memfokuskan pada hubungan dialektik antara individu  dan masyarakat dalam pembentukan pengetahuan. Pengertian ilmiah tidak datang dalam bentuk jadi pada seorang anak, akan tetapi bergantung pada tingkat kemampuan anak untuk menangkap suatu model pengertian. Dan Vigotsky membedakan adanya dua pengertian, yaitu pengertian spontan dan pengertian ilmiah. Pengertian spontan adalah pengertian yang didapat dari pengalaman sehari- hari, sedang pengertian ilmiah (Formal) adalah pengertian yang didapat dari kelas (Suparno,P., 1997).
Vygotsky menggunakan istilah ”zo-ped” atau ZPD (zona of Proximal development), yaitu suatu wilayah tempat bertemu antara pengertian spontan anak dengan pengertian sistematis logis orang dewasa. Wilayah ini berbeda dari setiap anak dan ini menunjukkan kemampuan anak untuk menangkap logika dari pengertian ilmiah.  dalam meneliti bahasa anak, Piaget menyipulkan bahwa bahasa anak adalah egosenris sifatnya. mereka berbicara keras kepada diri sendiri daripada kepada orang lain. Menurut Vygotsky bahasa merupakan aspek sosial sejak awal, pembicaraan egosentrik adalah permulaan dari pembentukan inner speech (kemampuan bicara pokok) yang akan digunakan sebagai alat dalam berpikir. Menurut Vigotsky inner speech berperan dalam pembentukan pengertian spontan, pengertian sontan ada dua yaitu pengertian dalam dirinya sendiri dan pengertian untuk yang lain, yang dapat digunakan untuk komunikasi dengan  orang lain (Suparno,P., 1997).
Dalam konstruktivisme sosiokulturalisme perlunya  memperhatikan bahwa : 
a.      pentingnya berinteraksi sosial dengan orang- orang yang mempunyai pengetahuan yang lebih baik
b.      aktivitas mengerti selalu dipengaruhi oleh partisipasi seseorang dalam praktek-praktek  sosial dan kultural dalam lingkungan belajar
c.       perlu diperhatikan pembentukan pengetahuan dipengaruhi oleh sosiokultural, karena tidak mungkin memisahkan unsur- unsur sosiokultural dalam pembentukan pengetahuan.
3.      Konstruktivisme sosiologis
Konstruktivisme sosiologis berpandangan bahwa pengetahuan merupakan hasil penemuan sosial dan sekaligus merupakan faktor dalam perubahan sosial.  Berger mendasarkan pengetahuannya pada kenyatan sehari- hari.
Konstruktivisme sosiologis menekankan pada pengetahuan ilmiah merupakan konstruksi sosial, bukan konstruksi individual. Suasana lingkungan, masyarakat dan dinamika pembentukan ilmu pengetahuan sangat penting. Mereka cenderung mengambil fungsi dan peran masyarakat dalam pembentukan pengetahuan manusia. Ini bertentangan dengan konstruktivisne radikal, yang beranggapan bahwa pengetahuan seseotang merupakan konstruksi dari orang itu sendiri, masyarakat tidak memberi andil dalam pembentukan pengetahuan.
Konstruktivisme sosial beranggapan bahwa pengetahuan yang dibentuk oleh peserta didik, merupakan hasil interaksinya dengan lingkungan sosial disekitarnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa: 1. pengetahuan dibina oleh manusia, 2. pembinaan pengetahuan bersifat sosial dan personal, 3. pembina pengetahuan personal adalah perantara soial dan pembina pengetahuan sosial adalah perantara personal, 4.  pembinaan pengetahuan sosial merupakan hasil interaksi sosial, dan 5.  interaksi sosial dengan yang lain adalah sebagian dari personal, pembinaan sosial, dan pembinaan pengetahuan bawaan.

Ref: 


Suparno, P., 1997, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, Kanisius, Yogyakarta.
 
Menurut Shapiro (1994) dalam Suparno, P. (1997), paling tidak ada tiga kecenderungan pokok bagaimana orang menjelaskan apa dan bagaimana pengetahuan terbentuk, yaitu :
1.      Pengetahuan adalah fakta
pengetahuan sudah ada sebagai satu fakta atau kenyataan, tinggal menunggu untuk ditemukan. Dengan kata lain bahwa kebenaran ilmiah sudah ada tinggal menunggu untuk dibuka. Bacon dikenal sebagai bapak metoda ilmiah dalam Suparno, P. (1997) menyatakan bahwa sains seolah merupakan suatu kegiatan mengumpulkan pengetahuan obeyektif, yaitu suatu proses induksi lewat pengamatan yang disebut dengan metoda ilmiah.   Untuk membuka kebenaran ilmiah menurut Bacon dalam Suparno, P. (1997)  diperlukan langkah- langkah untuk menemukan pengetahuan adalah sebagai berikut:
a.      observasi
b.      membuat hipotesis
c.       menguji kebenaran hipotesis
d.      menggunakan hipotesis untuk penelitian lebih lanjut
e.      hipotesis yang berlaku umum dan dapat menjelaskan banyak peristiwa, diangkat menjadi hukum.
2.      Pengetahuan merupakan hasil proses pembentukan kita
Pengetahuan bukanlah satu fakta yang tinggal ditemukan, melainkan suatu perumusan yang diciptakan orang yang telah mempelajarinya. Pengetahuan itu suatu konstruksi orang yang sedang mengetahui dan mengandung suatu proses, bukan fakta yang statis, yang berarti pengetahuan tidak lepas dari orang yang mempelajarinya. Pengetahuan tidak bisa ada begitu saja ada, akan tetapi orang harus menciptakannya sendiri dalam pikirannya.
3.      Perlu skema yang lebih menyeluruh.
Diperlukan skema yang lebih menyeluruh untuk menunjukkan apa yang terjadi apabila konsep yang baru lebih unggul dalam memberikan penjelasan atas suatu kejadian yang sebelumnya hanya dapat dijelaskan sebagian.
A.   Pengertian Konstruktivisme
Model pembelajaran yang dikembangkan berdasarkan pandangan konstruktivis ini memperhatikan dan mempertimbangkan pengetahuan awal siswa yang mungkin diperoleh di luar sekolah (Rustaman, N.Y. dkk, 2003). Disarankan oleh Bell (1993 dalam Rustaman, N.Y. dkk, 2003) agar pengetahuan siswa yang diperoleh dari luar sekolah dipertimbangkan sebagai pengetahuan awal dalam sasaran pembelajaran, karena sangat mungkin terjadi miskonsepsi. Sebaliknya apabila guru tidak mempedulikan konsepsi atau pengetahuan awal siswa, besar kemungkinan miskonsepsi yang terjadi akan semakin kompleks.
Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan adalah bentukan (konstruksi) kita sendiri (Von Glaserfeld dalam Suparno, P., 1997). Pengetahuan bukan tiruan dari realitas, bukan juga gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan merupakan hasil dari konstruksi kognitif melalui kegiatan seseorang dengan membuat struktur, kategori, konsep, dan skema yang diperlukan untuk membentuk pengetahuan tersebut, dalam hal ini di bentuk oleh struktur konsepsi seseorang sewaktu siswa berinteraksi dengan lingkungannya.
Menurut Hoover (2007),  Constructivism's central idea is that human learning is constructed, that learners build new knowledge upon the foundation of previous learning. This view of learning sharply contrasts with one in which learning is the passive transmission of information from one individual to another, a view in which reception, not construction, is key. Yang berarti bahwa Pusat  ide konstruktivisme adalah manusia belajar mengkonstruksi, bahwa murid membangun pengetahuan baru atas dasar pengetahuan sebelumnya. Pandangan pembelajaran ini sangat berbeda dengan pembelajaran pasif yang mana informasi berasal dari satu individu ke lainnya, sebuah pandangan yang tidak mengkonstruksi adalah kuncinya.
Ada dua hal penting disini berkenaan dengan pengetahuan yang dikonstruksi oleh murid. Pertama adalah murid membangun satu pengertian baru dengan menggunakan apa yang sudah mereka ketahui sebelumnya. Dalam hal ini tidak ada ‘tabula rasa’ dimana pengetahuan ‘digoreskan’. Murid akan memasuki suasana pembelajaran dimana pengetahuan yang diterima akan dihubungkan dengan pengalaman yang sudah ada sebelumnya dan pengetahuan yang sudah dimiliki saat ini akan mempengaruhi penerimaan pengetahuan yang baru. Teori ini mengajarkan bahwa seorang anak terlahir ibarat kertas yang sudah ada tulisannya, akan tetapi semua tulisan itu masih kabur atau suram. Tugas guru adalah membantu anak untuk mempertebal tulisan-tulisan yang bersifat baik sehingga kelak dapat berubah menjadi ilmu yang berguna dan budi pekerti yang baik. Sedangkan tulisan yang sifatnya jelek harus dibiarkan agar bertambah suram atau bahkan “menghilang”.